Syarat utama kewajiban haji antara lain beragama Islam, berakal, baligh, merdeka, dan mampu. Ketika kita berbicara kemampuan, hampir seluruh orang Islam sudah diberikan kemampuan. Hanya saja, tinggal niat hatinya saja: MAU atau TIDAK?!
Dari segi hukum syariat Islam, pergi haji adalah fardhu ‘ain artinya wajib bagi setiap muslim yang mampu dan kewajiban ini sekali seumur hidupnya. Kewajiban haji sudah ditegaskan dalam alquran, hadis, dan ijma’ (kesepakatan para ulama).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman;
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah. Barangsiapa mengingkari kewajiban haji maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan tidak memerlukan sesuatu dari semesta alam” (QS. Ali Imran 97).
Inilah dalil wajibnya seseorang berhaji. Ayat ini menggunakan kalimat perintah yang berarti wajib. Kewajiban ini dikuatkan pada ayat yang artinya; “Barangsiapa mengingkari kewajiban haji maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan tidak memerlukan sesuatu dari semesta alam”.
Di sini, Allah menjadikan lawan dari kewajiban dengan kekufuran. Artinya, jikalau seseorang meninggalkan (tidak ada keinginan) berhaji tentu saja dianggap bukan seorang muslim sejati. Dan mereka dianggap meremehkan Allah dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.
Kita tidak perlu membandingkan dan mengukur strata sosial seseorang. Buktinya banyak orang Islam yang kondisinya cukup (pas-pasan) atau kekurangan justru bisa berangkat haji bersama suami, istri, anak, sahabat, karib, atau keluarganya.
Contohnya seorang penyapu jalan, tukang becak, tukang ojek, tukang semen, atau mereka yang tidak memiliki kelebihan harta alias pas-pasan. Ada juga mereka yang kerjanya hanya serabutan, tetapi buktinya bisa berangkat haji walaupun harus menabung selama bertahun-tahun.
Lantas bagaimana dengan diri kita yang memiliki penghasilan sedang/besar atau gaji tetap setiap bulannya? Atau kita yang memiliki rumah, ruko, tanah, atau mobil banyak? Mengapa kita kalah dengan mereka yang kerjanya serabutan tanpa gaji tetap atau bahkan pas-pasan?
Jawabannya adalah niat. Apapun alasannya, jika niat sudah bulat dan sungguh-sungguh dijamin tujuannya akan sampai. Ilustrasinya jika kita jalan kaki dari Batu Aji menuju Alun-alun Batam Center dengan jalan yang sama maka kita akan sampai tempatnya, bedanya hanya waktu saja.
Jika kita jalan kaki tentu waktu sampai di Alun-alun Batam Center akan lebih lama dibandingkan dengan naik sepeda motor, mobil, atau helikopter. Tapi sangat jelas, tujuannya di alun-alun, dan mereka yang menaiki sepeda motor atau mobil akan lebih cepat sampai tujuan.
Tetapi jangan salah, jika mereka yang berjalan kaki dan sudah melangkahkan kakinya duluan sudah dipastikan akan tiba di alun-alun Batam Center lebih awal. Sama dengan mereka yang pas-pasan penghasilannya bisa cepat berhaji karena menabungnya dan daftarnya sudah duluan.
Jangan lantas kita bilang mereka sudah berangkat duluan karena dapat hidayah sehingga bisa berangkat haji. Tidak bisa begitu kita menyanggahnya, sebab kewajiban haji bagi orang Islam itu sama saja di mata Allah. Justru Allah melihat kita dari niat dan kesungguhan hati kita.
Jarak Batu Aji dengan alun-alun Batam Center itu tidak pernah berubah. Begitu juga jarak antara Ka’bah di Makkah dengan tempat kita naik pesawat tidak berkurang atau bertambah (kecuali pindah rumah). Dari dulu penerbangan normal haji (umrah) paling lama 9 sampai 10 jam saja.
Ini menandakan bahwasanya perjalanan ibadah haji sangat dimudahkan saat ini dibandingkan zaman dulu yang naik kapal laut sampai berbulan-bulan. Jikalau bicara fasilitas dan perkembangan zaman, teknis ibadah haji semakin pesat dan berkembang.
Oleh sebab itu, tidak boleh lagi ada sangkalan dan bantahan bahwa diri kita belum menerima hidayah dan panggilan haji (umrah). Hidayah itu harus kita cari dan dikejar dengan serius supaya kita bisa dijadikan tamu-tamu Allah. Sudahkah kita menyiapkan jadi tetamu Allah?
Jadi sungguh tercela dan naïf jika kita masih mengatakan belum dapat hidayah atau dipanggil ke baitullah. Bukankah ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam selesai memugar Ka’bah dan setelah itu menyeru seluruh manusia agar pergi berhaji?
Demikian juga dengan keberadaan kita saat ini. Apakah kita tidak pernah melihat saudara, tetangga, sahabat, atau orang lain yang pergi haji (umrah)? Mustahil kalau kita tidak pernah sama sekali mengantar atau menyaksikan mereka bertandang ke baitullah.
Lalu kita hanya membatin dalam hati kita bahwa mereka yang sudah berhaji karena dapat hidayah Allah dan mampu finansialnya. Tentu pandangan semacam ini sangat keliru dan fatal. Justru seharusnya kita bertanya dan belajar sama mereka bagaimana bisa berhaji atau umrah?
Kita tidak akan pernah bisa pergi haji kalau kita sendiri tidak bersedia mencobanya. Sama dengan orang yang memiliki mobil baru dan sopirnya. Kita tidak bisa menyetir dan hanya mengandalkan sopir saja maka selamanya kita jadi penumpangnya.
Begitu juga dengan kita, kalau hanya menonton dan mengantarkan saudara atau tetangga yang akan pergi haji (umrah) maka selamanya kita akan menjadi penonton saja. Tapi kalau ada greget dan niat yang serius, setidaknya kita akan tertarik dan ditarik menjadi pemain intinya.
Jadi letak niat dan kesungguhan menjadi dasar pijakan setiap orang untuk melangkah. Selanjutnya tujuan akhirnya ke mana dan bagaimana? Selama menjalani sebuah keadaan, ada sebuah proses yang harus dijalani dengan penuh doa, sabar, teliti, dan disiplin.
Artinya, kalau kita hanya ingin pergi haji (umrah) tentu setiap orang ingin pergi ke sana. Ditanya ingin masuk surga atau neraka tentu jawabannya pasti ingin masuk surga. Tapi kita tidak pernah bersedia menjalani proses dan jalan menuju ke surga, tentu saja hal ini aneh.
Pingin haji (umrah) tetapi kita sendiri tidak ada niat atau greget yang serius. Kalau kita serius haji, mestinya kita akan membuat paspor, membuka rekening tabungan haji di bank syariah, dan belajar manasik haji atau umrah. Tidak bisa kita ujug-ujug sampai ke baitullah tanpa proses.
Kita sangat paham biaya haji tidak mahal, di Batam Ongkos Naik Haji (ONH) regular sekitar Rp35 jutaan. Kita bisa mencicil rumah, motor, mobil, atau yang lainnya setiap bulan di atas Rp1 jutaan bahkan lebih dari itu. Bisakan urusan dunia kita dipenuhi dengan sempurna?
Apalagi urusan haji yang menjadi rukun Islam, tentu kita akan terpacu memenuhinya. Adakah di antara kita yang suatu saat jika meninggal dunia ingin membawa rumah, mobil, motor, atau harta bendanya masuk ke liang kubur? Tentu jawabannya tidak pernah dan tidak mungkin ada.
ONH Rp35 juta dibagi Rp500 ribu maka ketemunya 70. Ilustrasinya jika setiap bulan kita menabung Rp500 ribu, Insya Allah dalam waktu 5,8 tahun bisa memenuhi tabungan haji. Syukur tabungan kita dibesarkan setorannya, maka cepat penuh isinya.
Persoalannya, tinggal kita ini mau apa tidak, niat apa tidak, sungguh-sungguh atau tidak?! Kalau masih terbesit nanti dululah, masih urus inilah, besoklah, dan lain-lain alasannya ya dijamin hasilnya ya begitulah sampai ajal menjemput nanti.
Tidak ada kata terlambat. Bulatkan niat dan tekad dan segeralah menyiapkan prasarana dan sarana menuju baitullah. Sebenarnya kita yang membutuhkan Allah dan Allah tidak pernah membutuhkan kita.
"Sesungguhnya Allah Maha Kaya dan tidak memerlukan sesuatu dari semesta alam" (QS. Al Maidah 97)
Saksikan kami dari TV Trans7 Jakarta
{youtube}PKkmYgnMLCM{/youtube}