Eksodus (pelarian besar-besaran) itu menggunakan perahu berbahan kayu berukuran seadanya. Sebuah perahunya dapat berisi ratusan manusia dari segala usia. Mulai dari bayi hingga tua renta. Perahu-perahu itu menyusuri wilayah-wilayah terdekat.
Beberapa di antaranya tiba di Thailand, Malaysia, Singapura, Hongkong dan Indonesia. Tidak terhitung jumlah perahu yang tenggelam ke dasar samudera membawa ratusan pengungsi. Manusia perahu (boat people), demikian julukan mereka.
Mereka ini memasuki Indonesia melalui wilayah yang terdekat dengan Vietnam. Seperti di Kepulauan Natuna (Pulau Tujuh), Pulau Bintan dan pulau-pulau di sekitarnya. Ratusan perahu merapat ke wilayah tersebut.
Berawal dari tersebarnya pengungsi di beberapa pulau-pulau. Ribuan manusia perahu dipindahkan ke Pulau Galang, sebuah pulau kecil berukuran 80 km persegi yang hampir tidak berpenghuni.
Jumlah pengungsi pun semakin bertambah setiap harinya. Sejak dibuka pada 1980 hingga ditutupnya camp pengungsi Vietnam pada 1996, tercatat sekira 250.000 manusia perahu menetap di pulau itu.
Sebagian di antara pengungsi yang beruntung menuju negara-negara ketiga seperti Amerika, Eropa, dan Australia. Sementara yang lain kembali ke negeri asalnya. Ada sekira 500 pengungsi yang meninggal dunia dan dimakamkan di Pulau Galang.
Sebagian besar meninggal wajar. Hanya belasan orang yang bunuh diri. Terdapat puluhan kilang minyak (off shore) di lepas pantai Kepulauan Natuna. Beberapa di antaranya masih beroperasi. Sedangkan yang lain sudah tidak difungsikan lagi.
Kilang minyak yang masih beroperasi ini biasanya terlihat dari lampu-lampu yang meneranginya. Gemerlap lampu tampak indah dilihat dari kapal atau pesawat terbang yang melaluinya. Sementara kilang minyak yang tidak beroperasi hanya tampak seperti sekumpulan besi tua berkarat yang mengapung di samudera.
Di antara kilang minyak yang tidak beroperasi ini, pernah menjadi tempat persinggahan awal manusia perahu. Mereka merapat di kilang minyak setelah mengapung berhari-berhari di samudera.
Manusia perahu yang terdampar di Pulau Natuna itu kemudian dipindahkan ke Galang. Camp Kemanusiaan Vietnam (Campsinam) dari Nagoya menuju Galang sejauh 75 km ini melalui jalanan darat.
Beberapa jembatan yang indah, di antaranya jembatan Barelang (Batam, Rempang, Galang). Sepanjang perjalanan ke sana pemandangan sedap dipandang mata.
Tetapi ada sesuatu yang berbeda saat kendaraan memasuki camp kemanusiaan pengungsi Vietnam (Campsinam). Puluhan kera berada di tepi jalan dan di tengah jalan.
Mereka tampak sedang bermain sambil menunggu pengunjung melempar makanan ke arahnya. Luas area camp ini mencapai 80 hektar. Terdiri dari 2 camp Galang I dan Galang II.
Wilayah ini terisolasi. Mereka dibatasi dalam bergaul dengan penduduk sekitar pulau. Beberapa bangunan yang ada tampak rusak dan tidak terawat.
Termasuk dua buah perahu asli milik manusia perahu. Umumnya bangunan yang hancur terbuat dari papan. Sementara yang berbahan semen masih terawat dengan sangat baik. Rusaknya sebagian camp kemanusiaan cukup memprihatinkan.
Itulah sebabnya kepala museum, Said Adnan berharap pihak terkait lebih memperhatikannya. Infrastruktur yang ada perlu dibenahi, khususnya barak-barak pengungsi yang sudah hancur perlu direnovasi. Tentunya harus ada sebuah anggaran khusus untuk menjaga kelestarian ini.
“Bagaimanapun juga camp ini tergolong situs termahal yang pernah mengangkat harkat dan martabat Indonesia di mata dunia, khususnya di bidang kemanusiaan.
Di sisi lain, camp ini masih menjadi tujuan utama wisata atau hang out di Batam, sehingga perlu dilestarikan. Apalagi tingkat pengunjungnya tinggi,” ujar Said Adnan, kepada penulis beberapa lalu.
Dia mengungkapkan setiap bulannya pengunjung lebih dari 1.000 orang. Mereka datang dari berbagai negara di dunia. Sebagian di antara mereka adalah mantan pengungsi yang pernah menetap di pulau ini.
Mereka berharap pemerintah tetap melestarikan camp ini mengingat camp sejenis di Malaysia dan Singapura sudah tidak ada lagi.
“Mereka datang untuk reuni sambil mengenang masa-masa kelam sejarah kemanusiaan di negaranya (Vietnam). Bekas pengungsi itu merasa terharu camp ini masih ada dan terawat baik, " jelas Said Adnan yang memiliki tiga anak dan seorang cucu.
Camp Pengsungsi Vietnam di Pulau Galang ini memang pernah tercatat sebagai camp pengungsi terbaik versi UNHCR badan kemanusiaan PBB.
Namun, beberapa tahun lalu, pernah ada upaya untuk menghapus simbol camp kemanusiaan ini. Rezim komunis Vietnam rupanya berkeinginan agar camp ini dihapuskan.
Itulah yang memicu demonstrasi di berbagai negara. Mereka mengutuk rencana penghapusan camp ini. Selama kurun waktu 16 tahun (1980-1996) terdapat sekira 250.000 pengungsi yang menetap di Pulau Galang.
Mereka datang secara bergelombang. Ada yang datang, ada juga yang pergi. Said Adnan mengungkapkan, saat dirinya masih sekolah, ia sempat melihat puluhan perahu pengungsi merapat ke tepi pantai.
Biasanya, para pengungsi sengaja membocorkan perahunya. Mereka berharap penduduk sekitar membantunya dan membawanya ke daratan. Mereka sengaja merusak kapalnya sendiri semata-mata karena rasa takut diusir penduduk.
Tentu saja dugaan mereka keliru. Warga tepi pantai malahan dengan antusias menolong mereka. Lebih jauh dikemukakan bahwa, pada masanya, camp pengungsi ini tergolong mewah untuk ukuran sebuah tempat pengungsian.
Sebab PBB dan negara donor bertanggung jawab dalam hal pembiayaan. Itulah sebabnya, seluruh fasilitas lengkap. Sarana dan prasarana memadai.
Mulai dari logistik, rumah sakit, barak, tempat ibadah (masjid, gereja dan kelenteng), pakaian, sanitasi, sekolah, bioskop, televisi, dan lainnya. Kondisinya bersih dan tertata rapi. Pengungsi hampir tidak ada aktivitas apapun kecuali menunggu panggilan untuk dikirim ke negara ketiga.
Malahan banyak di antara pengungsi muda yang menikah dan melahirkan. Meskipun demikian, para pengungsi yang berada dalam situasi menunggu tersebut tetap saja menjenuhkan dan menimbulkan frustasi.
Mereka yang mendapat panggilan menuju negara ketiga tentu bergembira. Tetapi pada saat bersamaaan, rekan atau kerabatnya yang juga sedang menunggu tetapi belum mendapat panggilan tentu merasa sedih, kecewa, atau bahkan frustasi.
Tidak sedikit di antara mereka yang memilih mengakhiri hidupnya. Sebuah pohon beringin berukuran besar dijadikan tempat untuk bunuh diri yang unik disebut body tree.