Saat itu, semua kebutuhan pribadi dan keluarganya tercukupi dengan baik. Ia mulai tertarik dengan Kota Batam saat seorang tetangga menceritakan kesuksesannya selama bekerja Batam.
Tetangga tersebut seorang wanita bernama Mawar Baiduri. Mawar menceritakan selama 10 tahun di Batam, ia sudah memiliki sebuah hotel. Muhith pun terperanjat dan tertarik merubah nasib dengan hijrah ke Batam.
“Saya ingat betul waktu itu tahun 1995, harga tiket Sempati Air cuma Rp 140 ribu. Saya berangkat dari Jakarta hanya berbekal motivasi oleh cerita Mawar,” kenang Muhith, beberapa waktu lalu.
Setelah sampai di hotel yang dimaksudkan Mawar, Muhith pun bertanya kepada seorang karyawan hotel mengenai status tetangganya tersebut di hotel itu. Sekali lagi dia terperanjat. Ternyata Mawar hanya karyawati biasa.
Bahkan menurut cerita karyawan itu, Mawar merupakan istri seorang warga Singapura. Muhith pun bingung. Namun Mawar tetap membantunya dengan menyedia kos di Blok 4 Baloi Batam.
Tiga bulan Muhith menganggur tanpa pekerjaan hingga akhirnya ia berkenalan dengan seorang pekerja bangunan. Akhirnya, jadilah Muhith sebagai pekerja bangunan.
Gajinya Rp 20 ribu sehari. Merasa tidak kuat, setelah tiga bulan Muhith memutuskan berhenti kerja bangunan. Muhith banting stir sebagai tukang ojek. Hasil kerja bangunan Rp 400 ribu ia gunakan untuk mengurus SIM C. Sedangkan sepeda motor ia sewa kepada seseorang.
“Saya menyewa motor harian sebesar Rp 5 ribu. Waktu itu sepeda motor yang saya pakai mulai dari Suzuki Jetcooled dan Yamaha Sprinter,” ungkapnya trenyuh.
Setelah tujuh bulan, Muhith berhasil menabung Rp 700 ribu. Rencananya, uang itu akan dikirim ke keluarga di kampung. Ternyata Tuhan berkehendak lain, saat mengojek ia menabrak pengendara lain. Seorang penumpang patah tulang. Muhith diharuskan mengganti motor yang rusak dan membiayai pengobatan penumpang tersebut.
Ia pun menghabiskan Rp 1,5 juta biaya pengobatan penumpang dan perbaikan motor. Muhith mulai mengalami trauma. Ia semakin malas menarik ojek dan lebih senang menghabiskan waktu berdiam di Masjid Darul Muta’alin di Sei Panas.
Sekian lama manekung di Masjid, Muhith mendapat tawaran menjadi tenaga pengajar Tempat Pengajaran Al Qur’an (TPA). Ia pun menjadi perintis berdirinya TPA di Musolla Al Ikhlas Kampung Melayu Sei Panas. Ia mulai mengajar sejak 1996-1998.
“Awalnya cuma 3-5 orang yang belajar mengaji. Lama-lama mencapai 40 anak,” kenangnya tersenyum.
Uang gaji ia manfaatkan untuk membiayai kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ibnu Sina. Dia sempat nyambi kerja sebagai penjaga di perpustakaan dengan gaji sekitar Rp 350 ribu.
Muhith juga berkesempatan mengajar private mengaji. Tahun 2002 Muhith selesai kuliah. Sebelum wisuda ia mempersunting pujaan hatinya, Endang Wahyuningsih, sesama aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Muhith pun sempat malang-melintang di perusahaan media sebagai marketing iklan. Dilanjutkan menjadi konsultan di sebuah perusahaan asuransi Islam dan menjadi guru honorer di sekolah dasar.
Saat seorang ustaz di Rumah Sakit Awal Bros (RSAB) memutuskan mundur, Muhith pun langsung ditawari menggantikan posisi tersebut oleh seorang kenalannya.
Sejak tahun 2007, ia resmi menjadi ustaz atau rohaniawan di rumah sakit tersebut.
Berkat berbagai peran di bidang keagamaan, Muhith pun mendapatkan kemudahan rezeki. Ia mampu membeli sebuah rumah di Tanjungpiayu dan memiliki kendaraan sendiri.
Bukan itu saja, bagi pembaca yang ingin bertukar pengalaman dengan Muhith Marzuqi bisa mendatangi di Masjid Raudhatul Jannah di Bengkong Baru Blok D No 1 Bengkong Harapan Batam. Ia pun tidak sungkan memberikan nomor teleponnya 081-270101972.