Orang yang berilmu wajib tampil di muka umum dengan akhlak, adab, dan keilmuannya. Dia harus berani mengemukakan dengan alasan (hujjah) dan kesantunan akhlaknya.
Sedangkan mereka yang bodoh (baca: goblok) harus berani tampil menghilangkan kebodohannya dengan belajar, mencari guru, dan menuntut ilmu. Sehingga tidak akan muncul ungkapan sok tahu, sok pintar!
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud Radhiallahu 'Anhu berkata: “Jauhilah fudhuulul kalam (pembicaraan yang melebihi keperluan). Cukup bagi seseorang berbicara, menyampaikan sesuai kebutuhannya” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1 halaman 339).
Apabila ada seseorang yang berikrar kepada khayalak bahwasanya dirinya memiliki keahlian (kelebihan) begini dan begitu, maka khayalak harus percaya. Misalnya seseorang yang berikrar tentang kelebihannya melalui media sosial (medsos), baik Facebook (FB), Twitter, Instagram, LinkedIn, YouTube, dan sejenisnya.
Maka sebagai seorang muslim kita harus berbaik sangka terlebih dulu. Tidak boleh kita berburuk sangka kepadanya tanpa adanya dalil atau ilmu yang mendasarinya.
Jika suatu hari ikrarnya menyimpang maka sebagai sesama muslim kita wajib mengingatkannya supaya yang bersangkutan tidak terjerumus kepada kesalahan.
Allah Subhanahu Wata 'Ala berfirman;
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An Nahl ayat 43)
Menurut Imam Fakhru Al Razi dalam tafsir Mafatihul Ghaib, dalam ayat yang berarti: “maka bertanyalah kepada ahli zikir apabila kamu tidak mengetahui” memiliki empat makna yang terkandung di dalamnya.
Pertama bermakna ahli taurat. Makna dzikru di situ adalah taurat. Kedua, mereka adalah ahli di dalam masalah-masalah makna kutub masa lalu dan diketahui dari mereka bahwa para nabi adalah juga basyar, manusia.
Ketiga, ahli dzikri bermakna mereka yang ahli kabar masa lalu dan karenanya seorang alim terhadap sesuatu dia akan mengingatnya. Keempat, bertanyalah kepada mereka yang berzikir dengan ilmu dan tahqiq (Tafsir Mafātihul Ghaib, XX: 27).
Sedangkan makna yang lain juga dikemukakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam seperti yang diriwayatkan dari sahabat Jabir Radhiallahu 'Anhu. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda: “La yanbaghi li al `alim an yaskuta `ala `ilmihi wala yanbaghi al jahil an yaskuta `ala jahlihi”.
Artinya tidak sepatutnya seorang yang berilmu menyembunyikan ilmunya dan seorang yang bodoh menyembunyikan kebodohannya.
Orang berilmu, dengan akhlak dan adabnya, harus berani tampil dengan hujjah dan kesantunan akhlaknya. Sementara orang bodoh harus berani tampil menghilangkan kebodohannya, yaitu mencari guru dan ilmu.
Dalam ayat di atas disebutkan ahli zikri sekaligus berilmu, diposisikan dengan orang bertanya yang berawal dari orang yang percaya dengan argumentasi-argumentasi dalil dan logika dengan kata in kuntum la ta’ lamun.
Hal ini menunjukkan isyarat bahwa apabila kita tidak tahu tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu-ilmu (khususnya agama), dengan kata la ta’ lamun, bukan dengan kata la ta’ rifun, artinya ilmu-ilmu yang membutuhkan argumentasi dan dalil, maka pergilah kepada ahli zikir.
Penjelasan di sini ada dua. Pertama maksudnya adalah ahli ilmu yang sekaligus ahli zikir. Maka seseorang akan menemukan ahli zikir sekaligus ahli ilmu akan memberikan jawaban-jawaban bukan hanya aspek-aspek lahiriah semata, tetapi juga hikmah-hikmah, kebijaksanaan-kebijaksanaan, dan makna-makna yang lebih mendalam.
Kedua, ahli zikir saja terlihat secara lahir dari mata awam dan juga tidak terlihat dia sebagai ahli ilmu lahir seperti fiqih dan tafsir. Padahal biasanya seorang ahli zikir dan ma’rifat sudah tentu paham dengan hukum-hukum agama yang pokok, meskipun tidak tahu menyeluruh tentang tafsir dan fiqih (hukum).
Ahli zikir di situ adalah ahli ma’rifat, apabila seseorang menghadapi persoalan-persoalan yang sudah tidak bisa dipecahkan dengan logika (otak) dan dengan argumentasi, maka bertanyalah kepada mereka.
Salah satu contohnya tiba-tiba dalam sepuluh tahun berumah tangga, dulunya bahagia, tetapi akhir-akhir ini mengalami keretakan dan salah satu pasangan meninggalkannya. Atau seseorang mengalami sakit menahun yang tidak sembuh-sembuh meski sudah berusaha ke mana-mana.
Atau bisa jadi menghadapi persoalan kebangkrutan ekonomi secara tiba-tiba, padahal sebelumnya kaya raya atau masalah-masalah yang orang itu mengalami kebingungan. Maka datanglah kepada ahli zikir atau ahli ma’rifat.
Maka ahli zikir dan ahli ma’rifat dengan ilmu yang dimilikinya itu tidak boleh menyembunyikan ilmunya. Dan orang yang mengalami kebingungan tidak boleh diam dengan kebingungannya maka dia harus bertanya kepadanya untuk mendapatkan solusinya.
Ahli ma’rifat atau ahludzdzikri itu akan memberikan jawaban-jawaban yang menyejukkan hatinya. Kata-kata dan nasihatnya akan menenangkannya. Setelah itu dia bisa bangkit kembali.
Resepnya semakin memantapkan orang itu untuk ingat dan bergantung kepada Allah Subhanahu Wata 'Ala, tidak bersedih dengan kehilangan dunia, secara berlarut-larut. Sebab Allah pasti memberikan jalan kepada hamba-hamba-Nya yang bingung dan tidak tahu.
Yakni melalui wasilah (perantara) para kekasih Allah supaya orang tersebut senang berkumpul dengan orang-orang shalih dan ahli ma’rifat. Sehingga sudah pasti dia akan mendapatkan manfaat dan pertolongan.
Sebagai catatan, Allah tidak menyuruh mereka untuk tanya kepada ahli politik, ahli retorika, ahli filsafat, ahli bangunan, ahli mesin, atau ahli-ahli lainnya.
Ini memberikan arti bahwasanya kedudukan ahli dzikir di sisi Allah memperoleh maqam (derajat) kedekatan sehingga direkomendasi untuk menjadi tempat bertanya dan meminta nasihat.
Lantas bagaimana ciri-ciri mereka (ahli zikir) yang maqamnya sangat dekat dengan Allah? Dalam kitab Kifayatu Al Atqiya’ `ala Hidayati Al Adhkiya ila Thariqi Al Auliya’ (juz IV), disebutkan ada beberapa penjelasan. Yang saya pahami dan bisa saya simpulkan;
Ulama yang model begitu itu, bertambah takwa dan jernih, dengan kata lain tidak gaduh, tidak rewel, tidak jorok, tidak kasar, dan tidak menghina orang lain, baik ketika dirinya sendirian atau di muka publik.
Sebab orang seperti itu, telah meninggalkan syahwat dan menghancurkan sifat-sifat tercela, seperti mencari pangkat dan dunia lain. Dia lebih mengisi hati dan pikirannya dengan hal-hal yang menyelamatkan dan meniadakan penyakit hati dalam dirinya.
Ulama yang begitu tadi, dapat haibah (kewibawaan) dari Allah, yang menjadikan dirinya menjadi diam dan tenang dan lebih banyak diam untuk hal-hal yang tidak perlu.
Sebab ulama model ini sudah dibukakan asraru mulkillah, dia akan menjawab persoalan-persoalan dengan makna-makna yang mendalam dan menyentuh qalbu.
Jadi, seorang ahli zikir, salah satu tandanya adalah akhlaknya baik kepada orang lain, karena pernah mengalami haibah, bukan karena pintar telah hafal riwayat-riwayat atau terlihat alim dengan jubah besarnya.
Dalam bahasa Ibnu Arabi disebutkan begini dalam Al Hikam Al Ilahiyah: “La yaşluhu man yurabbi al khalqa illa man kanat sifatuhu min sifati Al Haqq” maka ahlu dzikri yang ma'rifat itu terpatri dalam dirinya sifat-sifat kamal dan jamal-nya Allah dalam berinteraksi kepada masyarakat, penuh kelembutan, kasih sayang, pemurah, pemaaf, dan lain-lain.
Semoga kita, anak-anak kita, dan keturunan-keturunan kita senantiasa didekatkan dengan para ulama ahlu al dhikri model ini dan memperoleh berkah mereka. Aamiin ya robbal 'alamin.