Puasa tidak membatasi ras/suku, pria/wanita, kaya/miskin, atau pintar/bodoh. Semuanya yang beragama Islam wajib berpuasa kecuali mereka yang berhalangan diperobolehkan untuk tidak puasa. Sepanjang usia, kita berpuasa saat dewasa (baligh).
Bagi laki-laki dihitung baligh semenjak mengeluarkan sperma (mani) dan perempuan sudah haid. Dalam hukum (fikih) Islam, seseorang wajib berpuasa ketika dirinya berumur 15 tahun. Bisa jadi kurang dari 15 tahun, seorang laki-laki atau perempuan sudah mencapai usia baligh sehingga hukum yang menyangkut kewajiban ibadah mulai diberlakukan baginya.
Untuk memudahkan hitungan, seseorang yang lahir tahun 1980 kemudian ditambahkan 15 tahun menjadi 1995. Mulai tahun 1415 H/1995 M dia sudah dikatakan baligh. Seluruh kewajiban syariat Islam harus dijalankan tanpa terkecuali. Ramadan 1439 H/2018 M jika dimasukkan dalam hitungan ini, seseorang sudah menjalani puasa Ramadan dalam hidupnya selama 23 tahun atau 23 kali (1995-2018).
Apakah selama 23 kali berpuasa Ramadan kita sudah lulus ujian dan menjadi bertakwa? Padahal tujuan akhir dari puasa Ramadan menjadikan umat Islam bertakwa (tafsir surat Al Baqarah ayat 183). Tentu saja hakikat takwa harus kita pahamkan dan tanamkan lagi dalam hati kita. Menurut kaidah bahasa, takwa berasal dari bahasa Arab yang berarti memelihara diri dari siksaan Allah.
Poinnya adalah mengikuti seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahihi). Takwa (taqwa) berasal dari kata waqa yaqi wiqayah yang artinya memelihara dan menjaga diri agar selamat di dunia dan akhirat. Kata waqa juga bermakna melindungi sesuatu atau melindunginya dari berbagai hal yang membahayakan dan merugikan.
Seluruh niat, lisan, dan perbuatan yang dilahirkan harus mengandung kebaikan (manfaat). Melindungi sesuatu dari hal-hal yang membahayakan berarti berlaku bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Mungkin di antara lulus dalam menjalankan puasa selama satu bulan penuh. Hanya saja implementasi setelah Ramadan tidak mengubah perilaku (kebiasaan) pada sebelas bulan berikutnya.
Sangat disayangkan jika perilaku baik hanya dilakukan selama bulan Ramadan saja. Bukankah Ramadan selama sebulan merupakan madrasah ruhaniah (pendidikan ruhani) yang harus mengubah tabiat manusia yang buruk menjadi baik, malas menjadi rajin, pelit menjadi dermawan, atau perangai buruk (jahat) sebelumnya. Termasuk mengubah pola pikir (mindset) membangun kemaslahatan bagi umat manusia.
Oleh sebab itu, setelah seseorang mengikuti madrasah ruhaniah selama sebulan, mereka harus mengimplementasikan perbuatannya di luar Ramadan. Kultur kebaikan dan keselarasan yang diadopsi selama sebulan itu dipraktikkan pada bulan-bulan di luar Ramadan. Dengan kata lain, Ramadan selama sebulan penuh menjadi the spirit of master education (pusat belajar motivasi jasmani dan ruhani).
Artinya kebiasaan jujur, disiplin, rajin, dan lainnya yang sudah didapatkan dalam madrasah ruhaniah itu bisa dimanifestasikan ke dalam sebelas bulan berikutnya. Dengan kata lain me-ramadan-kan sebelas bulan berikutnya menjadi Ramadan. Jika seseorang mampu menjadikan atmosfer Ramadan pada bulan-bulan berikutnya maka kenyamanan akan bisa dirasakan oleh siapa pun.
Ketika mindset sudah dibungkus atmosfer Ramadan otomatis ketika seseorang akan berbicara dia akan lebih berhati-hati. Sebab hakikat dari takwa (waqa) akan mengontrol mindset dan melahirkan perilaku yang tidak akan pernah merugikan diri sendiri atau orang lain. Mengapa, Ramadan sudah mampu membelenggu seluruh jenis nafsu yang ada dalam diri manusia.
Cara ini melahirkan kebiasaan yang baik sehingga seseorang berfikir secara matang terlebih dulu sebelum bertindak. Apalagi dalam berbicara, maka dirinya akan mempertimbangkan aspek manfaat dan mudharat sebelum mengutarakannya. Apa-apa yang diucapkannya memberikan kebaikan dan manfaat bagi semua manusia dan dirinya tidak akan berbicara kecuali mengandung kemaslahatan.
Jika Ramadan sepanjang tahun belum memberikan efek perubahan yang dahsyat bagi seseorang, ini bukan berarti Ramadannya yang salah. Sebab dari tahun ke tahun kita sudah menjalani Ramadan sepanjang usia. Kita harus berkaca dan mawas diri, jika Ramadan tidak mampu memberi perubahan dalam diri kita, maka kita harus mengupas kesalahan kita lebih mendalam.
Tidak perlu mencela dan mengamati perubahan perilaku orang lain. Justru kita harus melihat dan mengoreksi diri agar hasil dari madrasah ruhaniah bisa memberikan perubahan signifikan terhadap niat dan perbuatan kita. Dengan kata lain, selama Ramadan jangan sampai hanya mendapatkan rutinitas lapar dan dahaga semata, namun harus lebih dari itu sehingga iman dan perilaku baiknya terus meningkat tajam. (Candra P. Pusponegoro)