Apapun yang akan dan sudah terjadi sudah disampaikan dalam Alquran dan hadis dengan sangat detail. Termasuk dalam hal ibadah dan muamalah, Allah dan rasul-Nya sudah menuntun kita.
Sebagaimana firman Allah; “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam itu sebagai agamamu” (QS. Al Maidah 3).
Ibnu Katsir dalam penjelasannya mengatakan bahwa hal itu merupakan nikmat terbesar yang Allah berikan kepada umat Islam. Allah telah menyempurnakan untuk orang Islam agamanya.
Bahkan Nabi Muhammad menjadi penutup para nabi dan sebagai nabi yang diutus kepada seluruh umat manusia dan jin. Maka tidak ada yang halal melainkan apa yang dihalalkan-Nya dan tidak ada yang haram selain apa yang sudah diharamkan-Nya.
Begitu juga dengan seseorang yang ditimpa sakit jasmani atau ruhani. Pengobatan cara Thibbun Nabawi sudah dilakukan oleh para ulama.
Secara maknawi, Thibbun Nabawi merupakan segala sesuatu yang disebutkan oleh Alquran dan As Sunnah yang shahih yang berkaitan dengan kedokteran, baik untuk pencegahan (penyakit) atau pengobatannya.
Thibbun Nabawi dimaknai dengan petunjuk rasulullah dalam kedokteran yang berobat dengannya atau untuk mengobati orang lain.
Selain itu, Thibbun Nabawi yang menjadi metode pengobatan rasulullah yang diucapkan, tetapkan (akui), dan diamalkan. Hal ini merupakan pengobatan yang pasti dan bukan sangkaan. Sebab dapat mengobati penyakit jasad, ruh, dan indera manusia.
Setiap penyakit itu ada obatnya sebagaimana hadis rasulullah yang artinya; “Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan untuk penyakit itu obatnya” (HR. Bukhari Nomor 5678 dan Muslim dari Abu Hurairah).
Dengan demikian, setiap manusia yang sakit bisa diobati dengan petunjuk Alquran dan As Sunah. Dalam hadis yang lain disebutkan juga;
“Sesungguhnya Allah tidaklah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan obatnya bersamanya. Hanya saja tidak mengetahui orang yang tidak mengetahuinya dan mengetahui orang yang mengetahuinya” (HR. Ahmad 1/377, 413 dan 453).
Jika seseorang sakit kemudian berobat akan diperoleh kesembuhan. Sabda rasulullah; “Setiap penyakit ada obatnya. Bila obat itu mengenai penyakit akan sembuh dengan izin Allah” (HR. Muslim Nomor 5705).
Dalam Islam, beragam penyembuhan dan obat yang bermanfaat bisa didapatkan atas izin Allah yang terbebas dari syirik, khurafat, takhayul, dan bid’ah.
Semestinya, kita sebagai umat Islam tidak meninggalkannya dan beralih kepada pengobatan lain. Atau dengan kata lain, tidak sepantasnya seorang muslim menjadikan pengobatan nabawiyyah sekedar sebagai pengobatan alternatif (sampingan).
Justru kita harus menjadikan Thibbun Nabawi sebagai cara pengobatan yang utama karena kepastiannya sudah dijamin Allah. Pengobatan yang diajarkan Nabi Muhammad diyakini kesembuhannya sebab bersumber dari wahyu.
Walau demikian, berkaitan dengan kesembuhan suatu penyakit, seseorang tidak boleh bersandar semata dengan pengobatan tertentu.
Tidak boleh juga seseorang meyakini bahwa obat atau tabib (tukang mengobati) yang memberikan kesembuhan sakitnya, tapi kepada Allah-lah yang memberikan penyakit dan sekaligus menurunkan penawarnya.
Sebagaimana perkataan Nabi Ibrahim AS tentang Tuhannya; “Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku” (QS. Asy Syu’ara` 80). Banyak hadis tentang Thibbun Nabawi yang menjelaskan persoalan pengobatan.
Di antaranya tentang ruqyah, yakni metode penyembuhan dengan cara membacakan ayat-ayat Alquran kepada orang yang sakit akibat dari ‘ain (mata hasad), sengatan hewan, sihir (teluh, santet, pelet, dll), racun, rasa sakit, sedih, gila, kerasukan, gangguan jin, dan sihir lainnya.
Selain itu mengenai hijamah atau berbekam. Terapi ini merupakan cara pengobatan yang sederhana, yakni mengeluarkan darah kotor dari tubuh dengan cara menggores permukaan kulit dan menyedot darah dari permukaan kulit.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad yang artinya; “Kesembuhan itu terdapat pada tiga hal, yakni meminum madu, sayatan (goresan) alat bekam, dan kay (sundutan) dengan api, tetapi sesungguhnya aku (Rasulullah) melarang umatku dari kay” (HR. Bukhari).